Mengenang Munir Said Thalib Pendekar HAM

Oleh : Hamdan Ns

"Berapa orang meninggal dunia? Berapa ribu orang hilang? Oleh praktek-praktek penyalahgunaan kekuasaan. Kekuasaan telah menggelapkan mata orang untuk merampas nyawa orang. Menghianati kemanusian. Tidak ada pembenaran dan alasan apapun orang boleh membunuh dan menghilangkan orang". (Orasi Munir).

Perjalanan Hidup Sang Pendekar

Munir dilahirkan di Malang, Jawa Timur pada 8 Desember 1965. Mempunyai seorang istri Suciwati dan dikarunia dua permata hidup. Ia adalah anak keenam dari tujuh bersaudara pasangan Said Thalib (almarhum) dan sang ibunda Jamilah, yang telah melahirkan anak yang luarbiasa peduli pada manusia tertindas.

Ketika kecil, dilingkungannya Munir sudah dikenal sangat kritis. Munir juga dikenal sebagai pembelajar yang tekun, bukan hanya dari buku-buku saja tapi juga dari pengalaman-pengalaman hidupnya. Suatu kali pada masa kecil, ia ketahuan oleh ayahnya mengelus mobil orang kaya. Dan reaksi sang ayah marah, karena ia tidak boleh mengagumi kekayaan orang lain. Ia harus bangga apabila tidak memiliki harta, walaupun cuman kaya ilmu. Dari pengalaman inilah Munir semakin tekun untuk banyak belajar lagi.

Kita mengenal Munir sebagai aktivis dan pejuang HAM di Indonesia, pengakuan ini tidak datang begitu saja. Ada berbagai proses panjang yang dilalui oleh Munir untuk menjadi aktivis HAM. Bahkan sampai dinobatkan oleh Majalah Asiaweek sebagai salah satu dari 20 Pemimpin Muda Asia pada Millenium Baru (Oktober 1998). Pergulatan dan pemikirannya dalam menangani kasus-kasus kemanusian yang secara spartan dan pernyataan-keras serta didukung oleh ketajaman dan orisinalitas dalam gagasan Munir yang seringkali membuat dan mengejutkan banyak kalangan. Dan pada pada tahun 1998 di dapuk sebagai Man of The Year 1998 oleh Majalah Umat. Sehingga dari Yayasan the right Livelihood Award Jakob von Uxkull, Stockhlom, Swedia memberikan penghargaan The Right Livelihood Award (8 Desember 2000) atas pengabdiannya di bidang pemajuan hak asasi manusia/HAM dan kontrol militer di Indonesia. Sebagai orang yang peduli dengan banyak orang uang dari penghargaan tersebut tidak dihabiskan untuk dirinya sendiri, tapi dibagi dua untuk teman-temannya di Kontras dan sang ibunda. 

Sebagai Mahasiswa, Munir merupakan pemuda pemberani. Ia mulai mencari pemahaman dan pengayaan diri dengan membuka lembaran-lembaran literatur dan pergaulan mengenai pergerakan melawan kekuasaan. Ia tidak berwacana dan menjualnya demi kepentingan politik. Ia tak ragu untuk berhadapan dengan segala hal yang dirasa melawan hati nuraninya. Di kampusnya Universitas Brawijaya (1988) ia pernah menjabat sebagai sekretaris Badan perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (1988), Ketua Senat Mahasiswa Universitas Brawijaya dipimpinnya pada tahun (1989), pernah menjabat sebagai Sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang (1989), dan juga pernah menjadi Anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), selain itu Munir juga aktif di Divisi Legal Komite Solidaritas untuk Marsinah, sekretaris Tim Pencari Fakta (TPF), dan Forum Indonesia Damai (FDI). 

Munir dibunuh


Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan menuju Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.



Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Jenazahnya dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia.

Perjuangan Harus Berlanjut

Nyanyian Merah
(Lirik : Angger Jati Wijaya)

Untukmu kutulis puisi
Kunyanyikan ribuan lagu
Agar tuntas sudah rasa dosa
Membiarkan kematian tak Habis-habisnya

Sebagai manusia harus kurelakan
kepergian abadi kepangkuannya
Sebagai kawan, tak rela kumelepaskan
Tersimpan dendam atas kekejian

Selamat jalan kawan
Terkenang perjuangan
Selamat jalan kawan
Bukanlah perpisahan
Nyanyian merah, nyanyian perlawanan
Nyanyian  merah, nyanyian perlawanan



Sumber Bacaan

- Nyanyian Merah -Mengenang Sobat Munir

https://id.wikipedia.org/wiki/Munir_Said_Thalib

-http://www.tribunnews.com/nasional/2017/09/07/munir-dibunuh-karena-dianggap-menghalangi-program-pemerintah

-https://news.detik.com/berita/d-3632957/13-tahun-usia-kasus-munir-kapan-aktor-intelektual-terungkap




Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.