Mau dibawa Kemana Negeriku

Oleh : Ersa Elfira Khaiya

Pekerjaan yang susah di era sekarang ini adalah menyadarkan manusia bahwa tai itu rasanya tidak enak – Arus Bawah, Emha Ainun Najib

Betapa ajaibnya negeri ini, ketika keburukan sudah dianggap sebagai makanan sehari-hari, begitu lama mereka disuapi keburukan-keburukan, kecurangan, kebusukan birokrasi dan moral sehingga mereka tidak punya pandangan lain selain bahwa memang seperti itulah adanya, mereka tidak punya pandangan lain lagi selain bahwa rasa makanan memang rasa nya seperti tai , ‘’memang sudah biasanya kami begini,sudah takdirnya, lalu harus bagaimana lagi dong?’’
KMM FT UNY
Bisakah ada perubahan di negeri ini, sebuah perubahan yang total dalam arti bahwa penumpasan keburukan akan benar-benar diberantas secara serius? apakah yang bisa kita lakukan sebagai mahasiswa? Demo? Lulus cepat? Mendapat beasiswa? Pacaran?
Terkait mahasiswa dewasa ini, aku bertanya tanya kepada diriku sendiri apakah sebenarnya yang membunuh atau mengkebiri gerakan mahasiswa? kemarin ada kabar bahwa pak Jokowi bilang kalau dia kangen di demo. Demo hampir tidak ada di bumi Yogyakarta, masalah demo, kampusku lah se Jogja ini yang sudah biasa melakukannya, tapi tahun ini, demo bisa dihitung dengan jari. Gerakan mahasiswa menjadi tidak masif, mahasiswa seakan-akan ada, tapi tak terasa.
Penulis sendiri adalah mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, yang entah bagaimana nasibnya nanti setelah lulus dari perkuliahan, tak ada pekerjaan menjadi filsuf di bumi Indonesia ini, aku tidak tahu sebenarnya masih dibutuhkan atau tidak pemikiran-pemikiran kefilsafatan di era milenial yang makin memburuk ini, tapi filsafat seperti tidak dilirik oleh Indonesia sejak dulu, banyak orang lebih tertarik ke ilmu-ilmu praktis. Padahal menurutku filsafat adalah hasrat, filsafat adalah keinginan, filsafat adalah belajar mengenai berfikir, dan aku tidak menyesal menjadi mahasiswa filsafat, banyak sekali hal yang kupelajari di filsafat, yang memuaskan gairahku untuk mengetahui.
Aku tak tau apakah masyarakat membutuhkan sarjana aqidah dan filsafat islam, yang kutahu masyarakat sekarang membutuhkan pendidikan untuk membuka mata mereka akan realitas, Indonesia adalah ada di dalam kulit kacang, kita tidak melihat apa yang terjadi diluar sana, apa konflik yang sedang ada di luaran sana. Kita masih ribut, soal apakah ini halal atau haram, apakah ini baik atau tidak kalau aku berpikiran berbeda di masyarakat, bagaimana caranya aku dapat duit, ditambah lagi pemerintahan yang korup yang sepertinya cuek terhadapa pendidikan rakyat. Kritis tidak diperbolehkan di negara demokrasi ini, ketika ketidakbenaran[korupsi, feodalisme, dogmatisme] telah bercokol kuat sejak sebelum jaman majapahit. Dan kita masih berada di jaman itu! . kita masih bodoh dan tak maju, penguasa masih korup dan serakah. Kita tak berjalan kemana-mana!
Kemajuan di barat sudah luar biasa, ekonomi, teknologi, militer dsb. Dan kita masih mempermasalahkan wudhu itu baiknya yang mengelus elus kaki atau tidak. Kita tidak membaca, kita tidak punya idealisme, kita maju saja terus kedepan seperti kuda yang ditutup mata sampingnya, persetan dengan yang lain, pokoknya aku sendiri yang maju. Kita lantas dikotak-kotakkan oleh ilmu, ilmu menjadi semakin sempit, kekritisan menjadi barang yang tidak perlu, karena memang kita ingin main aman saja, memang kenapa kalau kita tidak main aman? kita terlalu takut, dan tidak mau repot, main tidak aman berarti bermain bahaya, merugikan dan tidak ada manfaatnya. Kita berusaha seminimal mungkin mengambil jarak dengan bahaya
Hilang sudah rasa mereka untuk berjuang bersatu melawan ketidak adilan di negeri sendiri. Mahasiswa sudah berhasil dikebiri entah oleh apa. Orangtua sudah tidak membaca dan sibuk memikirkan besok mau makan apa, kita seperti anak bebek yang penurut yang mengikuti arus pemerintahan yang buta, korup, suka ribut dan tidak kredibel. Mau sampai kapan bangsaku terus seperti ini, ataukah memang Tuhan menakdirkan Indonesia untuk hidup di dalam kotak kaca yang terasing dari perubahan? kita tidak mengenal dengan perkembangan dunia, terasing darinya, dan hanya menjadi penonton, tidak dan tidak ada kemauan untuk ikut andil, ikut andil pun kita tak akan mampu. Maka mungkin sekali lah bahwa indonesia kelak akan dijajah lagi, entah dalam bentuk yang bagaimana lagi, paling tidak dunia sedang memanas, Irak dan Amerika sedang memanas akibat perjanjian yang dibatalkan sepihak oleh Donald Trump terkait pemberhentian perkembangan teknologi nuklir Iran, Korea selatan dan utara yang juga memanas terkait rudal, Austria dengan Sebastian Kurz yang sedang berada di persimpangan jalan karena sepertinya akan beralih ke partai ‘kanan’ yang dianggap lebih tertutup dan ‘diskriminatif’ terhadap imigran, bahkan tempo menyatakan bahwa ia adalah seorang anti imigran,walaupun aku baru tau bahwa Austria sedangan mengalami ketakutan terhadap imigran belakangan ini. Aku hanya berharap, apapun yang akan terjadi, semoga itu membawa keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh umat manusia, termasuk manusia Indonesia yang menonton dibalik ring pertarungan antar bangsa besar tersebut.
Lantas apa sebenarnya yang bisa merubah keadaan yang sudah carut marut sejak awal ini? sehingga aku sendiri pun tidak kaget dengan keburukan2 yang akan terjadi di bangsa ku. Itu adalah hal yang sangat biasa, kita telah terbiasa untuk dicurangi, kita telah terbiasa untuk dikibuli dan dibiarkan bodoh, maka benar lah apa kata Aristoteles; ‘kebiasaan merupakan kekuatan terbesar di dunia’ . kita terlalu terbiasa untuk di tutupi pikirannya,dibunuh rasa kritisnya lewat metode pendidikan yang tidak mengobarkan semangat daya cipta ilmu, doktrinan guru yang tidak boleh dibantah membuat kita terbiasa untuk menurut dan pasrah terhadapa apa yang ada di depan kita, otak adalah bejana yang akan diiisi oleh teori teori yang tak boleh dibantah. semakin kita membiarkan, semakin kuat lah mereka yang berperilaku buruk itu. 

Mungkin hal itu lah yang ingin kucari melalui filsafat: berfikir kritis dan mempertanyakan, adalah sebuah kemewahan untuk saat ini. apakah sarjana-sarjana sekarang ini bisa melakukan perubahan? Apakah generasi kita akan menghadirkan revolusi yang masif dan serius? Apakah Indonesia yang pikirannya sudah membatu ini akan terbangun dari tidurnya? Namun, ternyata pertanyaan untuk memecahkan masalah kemajuan bukanlah itu, melainkan: maukah kita?.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.