Wanita Pejuang Beasiswa

Oleh : Deny Setiawan

Langit menggerimis. Tetes hujan yang jatuh berirama dan menghantam daun-daun bedaru di taman kampus itu menimbulkan suara kosong. Ramai tapi sunyi. Seakan rinai itu turun karena kesedihan. Seperti hati si gadis berkerudung coklat yang sedari tadi duduk menekuk lutut di teras masjid kampus itu.
https://caragambarlucu.id
Riri Indriyani, gadis berusia delapan belas tahun dengan kaca-mata tebal menempel di wajahnya. Seperti halnya orang-orang seusia itu, Pelajar lulusan SMA tahun kemarin itu ingin sekali melanjutkan studinya di perguruan tinggi.
Ia bukan anak saudagar, pun anak orang kaya yang mampu membiayai kuliahnya bahkan jika ia mengambil fakultas kedokteran di Perguruan Tinggi Swasta. Ia hanya anak seorang petani sederhana yang penghasilannya juga pas-pasan. Itu sebabnya sang bapak tidak mengiyakan saat ia mengutarakan keinginannya untuk kuliah di kota. Bapaknya tidak mau membiayai. Atau lebih tepatnya tidak sanggup.
“Bapak mah nggak bakal mampu kalau Riri minta kuliah di jogja. Nggak bisa jamin, Ri... Sudah bisa makan sehari-hari saja sudah syukur.” Kata bapaknya suatu kali. Ia faham betul keadaan finansial orang tuanya. Terlebih kedua adiknya pun baru akan masuk sekolah tahun ini. Tapi untuk kuliah, ia memang tak hendak meminta barang sepeser uang pun. Ia hanya meminta lampu hijau dari bapak. Itu saja, tidak lebih.
Dan pilihan perguruan tingginya pun tidak muluk-muluk. UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Kampus rakyat yang katanya paling murah sedunia akhirat. Meski terkadang sistem UKTnya masih mencekik leher para pelajar desa yang memang hidupnya sudah melarat.
Sebulan yang lalu Riri bersama kedua temannya dari Ciamis datang ke Jogja untuk ikut tes jalur mandiri UIN Sunan Kalijaga. jalur itu bukan jalur pertama yang diikutinya. Sebelumnya ia gagal di jalur undangan SNMPTN dan SPAN-PTKIN. Tak sampai disitu, ia juga ikut jalur SBMPTN. Sayangnya nasib masih belum berpihak padanya. Terakhir ia ikut UM-PTKIN, meski hasilnya tidak berbeda. Entah apa gerangan yang membuatnya tak lulus. Padahal Sari, teman sekolah yang sebelum tes UM diajari cara menjawab soal olehnya, lulus di Universitas yang terbilang cukup berkelas. Sedangkan Ia yang menjadi mentor justru malah kurang beruntung.
Dengan bermodal uang yang dikumpulkannya selama setahun menganggur itu, ia ikut tes mandiri UIN Suka. Dan tidak sia-sia, usahanya membawa hasil yang cukup menggembirakan. Meski kegembiraan itu tidak bertahan lama, ketika melihat jumlah UKT yang ia dapat ternyata sangat tinggi. UKT golongan III. Guyonan macam apa ini? UKT satu saja belum tentu bisa ia bayar, dari mana pula ia dapatkan uang untuk membayar UKT tiga.
Beberapa hari berselang pengumuman UKT itu, keluar pula pengumuman pendaftaran bidikmisi. Ada harapan tersirat di wajah Riri ketika membaca pengumuman itu. Senyumnya tiba-tiba mengembang. Tapi sejurus kemudian menipis kembali, sebab di pengumuman itu dikatakan bahwa semua jalur bisa mendaftar bidikmisi kecuali jalur mandiri. Memangnya kenapa dengan jalur mandiri? Apakah UIN menganggap mahasiswa yang lulus jalur mandiri itu adalah anak orang kaya? Ini musibah baginya. Sudah jatuh, ketiban tangga pula. Sudah dapat UKT tinggi, malah tak bisa ikut bidikmisi. Ia putus asa.
Beberapa hari setelah pengumuman bidikmisi keluar, seluruh mahasiswa jalur mandiri dikumpulkan dalam ruangan besar dan diadakan dialog terbuka bersama rektor. Bagi UIN, jalur mandiri seakan dianggap jalur yang hanya diambil oleh anak-anak orang elit yang tak mau bersusah payah ikut jalur nasional. Tapi tidak bagi Riri. Di tengah-tengah forum resmi bersama para pejabat tinggi UIN, ia mengungkapkan ketidakadilan yang ia rasakan.
“Pak, saya ikut mandiri, bukan karena saya anak orang kaya. Kalau bapak tahu, saya ikut jalur mandiri ini karena saya tidak diterima jalur SPAN, SNAM, SBM dan UM. Saya sudah berusaha. Hanya nasib menentukan saya lulus lewat jalur terakhir. Bukan karena saya hanya ingin ikut jalur itu, pak. Tidak adil rasanya jika jalur mandiri tidak diberi kesempatan untuk mendaftar bidikmisi.” Suaranya memecah forum. Seketika ruangan riuh oleh suara tepukan tangan simpatisan yang merasa senasib dengannya.
Kebijakan pun dirubah. Rektor melayangkan surat permohonan revisi SK Kemenag tahun 2015 tentang pendaftaran bidikmisi. Jalur mandiri akhirnya boleh ikut bidikmisi. Sebuah kebahagiaan tersendiri mucul di raut wajah Riri.
Dan kebahagiaan itu semakin menjadi. Setelah bersusah payah ia mengumpulkan berkas dalam waktu yang sangat singkat, tidak lebih tiga hari. Pengumuman keluar. Nama Riri tercantum di pengumuman kelulusan seleksi berkas. Ia melompat, berjingkrak-jingkrak, gembira riang, saking senangnya.  Segera ia mempersiapkan diri untuk seleksi tahap selanjutnya. Tahap wawancara.
Oleh sang penguji, ia diminta menceritakan keadaan finansial orang tuanya. Tak ayal, belum sempat berbicara, air matanya sudah membanjir duluan, teringat keadaan keluarga yang serba apa adanya di kampung sana.
“Riri, Yakinkan Saya mengapa kamu pantas mendapatkan bidikmisi ini.” tukas sang penguji. Riri menjawab dengan mantap satu persatu pertanyaan yang dilontarkan penguji.
Seakan dunia ini adalah negeri dongeng, sebab kejadian demi kejadian terjadi seperti sebuah keajaiban. Nasib memang pernah menghempaskannya ke tempat paling dangkal di mana orang-orang yang berputus asa biasa merenung. Tapi kemudian nasib pula yang mengangkatnya kembali kepada harapan baru. Semua peristiwa itu seperti hanya setingan cerita rakyat, dimana semua pengorbanan dan perjuangan selalu berakhir dengan bahagia. Tapi nyatanya, itu nyata. Seperti kisah Riri, pemudi desa yang ingin kuliah hanya dengan modal nekat. Dan pada akhirnya menjadi salah satu di antara mahasiswa UIN Suka yang mendapatkan beasiswa bidikmisi.


Deny Setiawan, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.