Wanita Pejuang Beasiswa
Oleh : Deny Setiawan
Langit menggerimis. Tetes hujan yang jatuh berirama dan menghantam daun-daun bedaru di taman kampus itu menimbulkan suara kosong. Ramai tapi sunyi. Seakan rinai itu turun karena kesedihan. Seperti hati si gadis berkerudung coklat yang sedari tadi duduk menekuk lutut di teras masjid kampus itu.
Langit menggerimis. Tetes hujan yang jatuh berirama dan menghantam daun-daun bedaru di taman kampus itu menimbulkan suara kosong. Ramai tapi sunyi. Seakan rinai itu turun karena kesedihan. Seperti hati si gadis berkerudung coklat yang sedari tadi duduk menekuk lutut di teras masjid kampus itu.
https://caragambarlucu.id |
Ia bukan anak saudagar, pun anak orang
kaya yang mampu membiayai kuliahnya bahkan jika ia mengambil fakultas
kedokteran di Perguruan Tinggi Swasta. Ia hanya anak seorang petani sederhana
yang penghasilannya juga pas-pasan. Itu sebabnya sang bapak tidak mengiyakan
saat ia mengutarakan keinginannya untuk kuliah di kota. Bapaknya tidak mau membiayai.
Atau lebih tepatnya tidak sanggup.
“Bapak mah nggak bakal
mampu kalau Riri minta kuliah di jogja. Nggak bisa jamin, Ri... Sudah bisa
makan sehari-hari saja sudah syukur.” Kata bapaknya suatu kali. Ia faham betul
keadaan finansial orang tuanya. Terlebih kedua adiknya pun baru akan masuk
sekolah tahun ini. Tapi untuk kuliah, ia memang tak hendak meminta barang sepeser
uang pun. Ia hanya meminta lampu hijau dari bapak. Itu saja, tidak lebih.
Dan pilihan perguruan
tingginya pun tidak muluk-muluk. UIN Sunan kalijaga Yogyakarta. Kampus rakyat
yang katanya paling murah sedunia akhirat. Meski terkadang sistem UKTnya masih
mencekik leher para pelajar desa yang memang hidupnya sudah melarat.
Sebulan yang lalu Riri
bersama kedua temannya dari Ciamis datang ke Jogja untuk ikut tes jalur mandiri
UIN Sunan Kalijaga. jalur itu bukan jalur pertama yang diikutinya. Sebelumnya
ia gagal di jalur undangan SNMPTN dan SPAN-PTKIN. Tak sampai disitu, ia juga
ikut jalur SBMPTN. Sayangnya nasib masih belum berpihak padanya. Terakhir ia
ikut UM-PTKIN, meski hasilnya tidak berbeda. Entah apa gerangan yang membuatnya
tak lulus. Padahal Sari, teman sekolah yang sebelum tes UM diajari cara
menjawab soal olehnya, lulus di Universitas yang terbilang cukup berkelas.
Sedangkan Ia yang menjadi mentor justru malah kurang beruntung.
Dengan bermodal uang
yang dikumpulkannya selama setahun menganggur itu, ia ikut tes mandiri UIN Suka.
Dan tidak sia-sia, usahanya membawa hasil yang cukup menggembirakan. Meski kegembiraan
itu tidak bertahan lama, ketika melihat jumlah UKT yang ia dapat ternyata
sangat tinggi. UKT golongan III. Guyonan macam apa ini? UKT satu saja belum
tentu bisa ia bayar, dari mana pula ia dapatkan uang untuk membayar UKT tiga.
Beberapa hari
berselang pengumuman UKT itu, keluar pula pengumuman pendaftaran bidikmisi. Ada
harapan tersirat di wajah Riri ketika membaca pengumuman itu. Senyumnya tiba-tiba
mengembang. Tapi sejurus kemudian menipis kembali, sebab di pengumuman itu
dikatakan bahwa semua jalur bisa mendaftar bidikmisi kecuali jalur mandiri.
Memangnya kenapa dengan jalur mandiri? Apakah UIN menganggap mahasiswa yang
lulus jalur mandiri itu adalah anak orang kaya? Ini musibah baginya. Sudah
jatuh, ketiban tangga pula. Sudah dapat UKT tinggi, malah tak bisa ikut
bidikmisi. Ia putus asa.
Beberapa hari setelah
pengumuman bidikmisi keluar, seluruh mahasiswa jalur mandiri dikumpulkan dalam
ruangan besar dan diadakan dialog terbuka bersama rektor. Bagi UIN, jalur
mandiri seakan dianggap jalur yang hanya diambil oleh anak-anak orang elit yang
tak mau bersusah payah ikut jalur nasional. Tapi tidak bagi Riri. Di tengah-tengah
forum resmi bersama para pejabat tinggi UIN, ia mengungkapkan ketidakadilan
yang ia rasakan.
“Pak, saya ikut
mandiri, bukan karena saya anak orang kaya. Kalau bapak tahu, saya ikut jalur
mandiri ini karena saya tidak diterima jalur SPAN, SNAM, SBM dan UM. Saya sudah
berusaha. Hanya nasib menentukan saya lulus lewat jalur terakhir. Bukan karena
saya hanya ingin ikut jalur itu, pak. Tidak adil rasanya jika jalur mandiri
tidak diberi kesempatan untuk mendaftar bidikmisi.” Suaranya memecah forum.
Seketika ruangan riuh oleh suara tepukan tangan simpatisan yang merasa senasib
dengannya.
Kebijakan pun dirubah. Rektor
melayangkan surat permohonan revisi SK Kemenag tahun 2015 tentang pendaftaran
bidikmisi. Jalur mandiri akhirnya boleh ikut bidikmisi. Sebuah kebahagiaan
tersendiri mucul di raut wajah Riri.
Dan kebahagiaan itu
semakin menjadi. Setelah bersusah payah ia mengumpulkan berkas dalam waktu yang
sangat singkat, tidak lebih tiga hari. Pengumuman keluar. Nama Riri tercantum
di pengumuman kelulusan seleksi berkas. Ia melompat, berjingkrak-jingkrak,
gembira riang, saking senangnya. Segera ia
mempersiapkan diri untuk seleksi tahap selanjutnya. Tahap wawancara.
Oleh sang penguji, ia diminta
menceritakan keadaan finansial orang tuanya. Tak ayal, belum sempat berbicara,
air matanya sudah membanjir duluan, teringat keadaan keluarga yang serba apa
adanya di kampung sana.
“Riri, Yakinkan Saya
mengapa kamu pantas mendapatkan bidikmisi ini.” tukas sang penguji. Riri
menjawab dengan mantap satu persatu pertanyaan yang dilontarkan penguji.
Seakan dunia ini
adalah negeri dongeng, sebab kejadian demi kejadian terjadi seperti sebuah
keajaiban. Nasib memang pernah menghempaskannya ke tempat paling dangkal di
mana orang-orang yang berputus asa biasa merenung. Tapi kemudian nasib pula
yang mengangkatnya kembali kepada harapan baru. Semua peristiwa itu seperti
hanya setingan cerita rakyat, dimana semua pengorbanan dan perjuangan selalu berakhir
dengan bahagia. Tapi nyatanya, itu nyata. Seperti kisah Riri, pemudi desa yang
ingin kuliah hanya dengan modal nekat. Dan pada akhirnya menjadi salah satu di
antara mahasiswa UIN Suka yang mendapatkan beasiswa bidikmisi.
Deny
Setiawan, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
Post a Comment