Di Balik Senyuman Lintang
Oleh : Minchatus Sania
Brak !
Brak !
Berulang kali terdengar suara kaki-kaki kasar
mendobrak pintu gubuk kami dengan tak sabar.Pintu yang terbuat dari kayulapuk
itu akhirnya menyerah diserang sepatu-sepatu hitam yang kuat. Beberapa serdadu
menerobos masuk dan menendang apa saja yang menghalangi langkahnya. Kasihan
kucing kurusku yang ikut menikmati belaian kasar salah satu kaki itu.
Mereka memandangi dengan bengis antara aku dan
kakek.Api di mata mereka berkobar-kobar menandakan amarah besar. Tentu saja aku
sudah mengerti maksud mereka. Untuk apa lagi kalau bukan untuk mencari si
cecunguk itu? Yah, orang-orang kampung menyebutnya kacung Belanda.Si
pengkhianat.
Berita kaburnya Lintang alias cecunguk itu
kudapat dari Ainun, temanku. Aneh. Kenapa juga cecunguk itu harus kabur?
Bukankah segelas susu dan roti hangat berlapis keju lebih nikmat daripada susah payah memikirkan nasib bangsa
dan tanah airnya?
Kulihat serdadu-serdadu itu meninggalkan gubuk
kami dengan teriakan yang sulit kufahami. Bias kutebak mereka mengeluarkan
sumpah serapah dan perkataan kotor, terutama saat nama Lintang sering disebut.
Atau bahkanmungkin mereka justru mengutuki kami.
Tapi aku masih heran pada kakek.Lelaki tua
yang kurus itu justru mengulum senyumnya pada situasi kacau seperti ini.Sore
itu gubuk kecil kami begitu senyap. Kakek terduduk di kursi tua renta di makan
usia.
“kenapa
kakek terlihat senang dengan berita kaburnya Lintang?” tanyaku penasaran.
“
bersiaplah, Barra. Lembaran baru segera terbuka, mengakhiri goresan kelam di
bumi pertiwi.Perang segera dimulai.Gendering bersedia ditabuh.”
“maksud
kakek?”
“cepat
bersihkan gudang persembunyian!” perintah kakek masih dengan senyum yang sama.
“apa
ini ada hubungannya dengan si cecunguk itu?”
“jelas
ada. Barra, kakek tidak suka kau memanggilnya begitu.Sekali mutiara tetap
mutiara meski terselimut lumpur!” suara berat kakek penuh dengan teka-teki.
Aku semakin bingung.Kenapa Lintang dihubungkan
dengan mutiara? Ah, entahlah. Ucapan kakek tadi jelas menyisakan tanda Tanya
besar di kepalaku.
Hujan deras mengguyur desa kecilku malam
ini.Ditemani sebuah lampu minyak, aku dan kakek menikmati menu makan malam kali
ini dengan lahapnya. Sedikit nasi, dua potong tempe goring dan sambal terasi,
cukup mewah. Tak seperti temnku kebanyakan yang hanya bias menikmati nasi
seminggu sekali. Entah mengapa makan malam kali ini terasa begitu nikmat.
Perutku masih meminta diisi kembali dari
sepiring nasi yang kami makan berdua.
Suara gaduh di luar sanapun tak mau kalah.
Samar-samar suara baku tembak dan deru msin tank semakin menggila. Ya,
perang.Pesis seperti kata-kata kakek tadi siang.Tentara republic telah turun
dari gunung dan dengan gigih berani melawan tentara kolonial. Betapa bangganya
diriku terhadap mereka..terlebih seperti cerita kakek, selama ini kedua orang
tuaku meninggalkanku untuk memperjuangkan tanah airku. Semakin deras hujan
mengguyur saat malam kian larut.
“kakek,
aku takut.” Bisikku dalam dekapan kakek. Kami bersembunyi di ruang sempit yang
menurut kakek aman dari gangguan yang bias saja menghampiri.
“jangan
gentar, Barra. Kakek yakin ayahmu di sana takkan sia-sia mempertaruhkan
nyawanya. Allah bersama kita.Pasukan malaikatNya akan meluluhlantakkan pasukan
serdadu itu.”
“ya
Allah, lindungilah ayah dan ibu. Biarkan kemenangan berpihak pada kami.” Do’aku
lirih.
~~~~
Merdeka!
Merdeka!
Gegap gempita kemerdekaan terdengar hamper di
sluruh penjuru. Pagi ini, aku benar-benar merasa menjadi manusia baru.Manusia
merdeka.Manusia yang terbebas dari belenggu kebiadaban bangsa-bangsa tak
bermoral.
Matahari masih mengintip di ufuk timur saat
aku berdiri sendiri di teras.Sisa hujan semalam tercium harum.Maklumlah,
berbulan-bulan lamanya desaku tak tesentuh air hujan. Mungkin itulah yang
disebut hujan penuh berkah di malam kemenangan .puluhan bahkan ratusan orang
melewati jalan di depan gubukku sambil terus mneriakkan adzan dan gema
kemerdekaan.
Dhanis
dan Ainun dating menghampiriku.
“hei
Barra! Kau tak ke lapangan?”
“untuk
apa?”
“dasar
anak kecil! Merayakan kemenangan kita lah!”sahut Dhanis.
“tapi
aku belum ijin pada kakek.”
“alah!
Ayolah! Kau sudah sholat subuh kan? Amir dan Rosyad sudah di sana.”
Genggaman tangan Ainun dan Dhanis begitu kuat
menyeretku.Akhirnya kami ikut menyatu di jalanan berlumpur.Langkah-langkah kaki
kami yang tak beraturan seringkali menyulut kemarahan orang-orang di sekeliling
kami.
“eh,
kau sudah mendengar kabar tentang Lintang?” sela Ainun.
“kenapa?”
“ah,
nanti kau juga tahu.”
Ada apa lagi dengan kacung itu? Apa dia
terbunuh? Ataukah ditawan beramai-ramai seluruh warga?Haha.Itulan ganjaran
mengkhianati tanah air.Kebencianku padanya semakin memuncak.
Ingatanku melayang dalam waktu beberapa
mminggu yang lalu.Sebelum Lintang kabur, dia sempat menghampiriku dan
temn-temanku yang sedang bermain di tepi sungai.Senyumnya terlihat tulus saat
menyerahkan sebuah bingkisan berisi roti.Tentu saja roti adalah barang langka
bagi rakyat jelata seperti kami.Sapuan lembut sinar mentari yang terhalang
rimbunnya pepohonan di pinggir sungai berair jernih mengiringi kepergian
Lintang dan sepeda kesayangannya.
Kami kebingungan.Mau diapakan roti itu? Amir
menerka pasti ada racun di dalamnya. Dia berinisiatif membuang rotinya ke
sungai.
“jangan!
Kasihan ikan-ikannya.Pasti akan mati keracunan dan sungai kesayangan kita ini
tercemar!” bantah Dhanis.
“bagaimana
kalau kita berikan saja pada orang yang lewat saja?” usul Rosyad.
“hei,
kau juga mau membunuh orang seperti kacung itu?” jawab Amir.
“lalu, dikubur saja?”
“jangan!
Itu akan merusak tanah kelahiran kita!” sahut Ainun.
Tiba-tiba Rosyad memungut bungkusan itu dan
melemparnya ke udara. Begitu sampai di tanah, ia menendangnya bak pemain sepak
bola professional. Disusul Ainun dan yang lainnya, bungkusan itu enjadi
bulan-bulanan kami.begitu puasnya kami melancarkan tragedi pemusnahan
“bungkusan racun” itu hingga tak berbentuk.
Itu masih belum seberapa daripada ide gila
Amir yang kami lancarkan dua minggu lalu sebelum berita kaburnya Lintang.
Memang usia Amir yang paling tua di antara kami berlima seolah menobatkannya
menjadi pemimpin kami. bukan sepertiku yang baru berusia 14 tahun, menjadikanku
sosok pengekor dan anak bawang.
Di suatu sore, kami mencegat Lintang di sebuah
tikungan kecil di pinggir desa yang biasa dilewatinya.Di tangan kami
masing-masing tergenggam batu dan ketapel.Rimbunnya pohon pisang dan
semak-semak belukar sempurna menjadi benteng persembunyian kami.
Hampir saja kami menyerah setelah sejam
menunggu tanpa hasil.Jujur saja, sebenarnya aku tak tega melukai Lintang.Aku
juga membencinya Karena dipengaruhi teman-temanku.Hingga saat Lintang melintas
dengan sepedanya, aku masih terdiam tak berkutik.Tegakah aku melakukan hal
buruk ini?
Lamunanku pecah saat terdengar teriakan
Lintang.Satu tembakan tepat mengenai dahinya.Dia jatuh terlempar dari
sepeda.Seketika aku menoleh ke sekeliling, dan teman-temanku telah berlari
terbirit-birit meninggalkanku. Ah, Lintang. Aku ingin menolongmu.Tapi itu tak
mungkin. Bagaimana bias aku membantu musuh besarku?
“hei
nak! Hati-hati kalau berlari! Bisa-bisa kau jatuh terinjak ratusan ornag!” seru
seorang lelaki paruh baya di sampingku.Aku terkejut. Aku, Dhanis, dan Ainun
sudah sampai di lapangan.
Riuh teriakan jiwa-jiwa yang baru saj meraskan
kebebasan begitu membahana. Senyum-senyum kemenangan mengisi setiap sudut,
melengkapi megahnya kibaran sang merah putih.
Pandanganku tertuju pada sekelompok anak-anak
tangsi yang kemarin mengeroyokku dan Dhanis. Tak seperti kemarin saat mereka
membusungkan dada saat menendangi kami, kini wajah mereka seperti kertas koran
pembungkus cabai di dapurku. Tangan mereka terikat dijaga oleh beberapa
pemuda.Aku hamoir saja menjitak kepalanya kalau saja Ainun tak mencegahku.
“lihat!
Itu dia pahlawan kita!” tangan Ainun menunjuk pada salah seorang pemuda yang
menyandang senapan dan ikat kepala merah putih. Ya Tuhan! Aku taka sing dengan
wajah itu. Dia dikelilingi Harun dan Rosyad.Mereka tertawa begitu bahagia.Hei,
bukankah dia salah kostum?Harusnya kacung itu ikut di tangkap bersama para anak
tangsi tadi.
“hei
kalian! Kemarilah!” teriak Lintang sembari mengembangkan senyumnya.
“kak
Lintang! Pahlawanku!” teriak Dhanis dan Ainun bersamaan.
Pahlawan
katanya?Aku tak salah dengar?Aku semakin tak mengerti.Ainun dan Dhanis
berhamburan dan bergantian memeluk Lintang.Aku terpaku.
“Barra!Kenapa?Kau
masih membenciku ya?”
Seketika
aku tersadar.Bulir-bulir bening berjatuhan di kedua pipiku.Rasa bersalah
memenuhi setiap rongga dadaku, hingga bibirkupun bergetar hebat saat menyebut
namanya.
“Kak..Kak
Lintang!” aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan hangat seorang pahlawan
muda yang usianya hanya terpaut empat tahun dariku.
“sudahlah,
jangan seperti anak kecil begitu.” Diusapnya air mataku dengan lembut.
“kau
anak hebat, Barra.” Tambah Lintang.
“kau
lebih hebat,kak.” Isakku.
“kau
anak seorang pejuang besar. Kau lihat pemimpin barisan di sana? Dialah sosok
yang berjasa besar untuk negeri ini.Dia ayahmu!”
“benarkah?”
kata-kata Lintang menggetarkan hatiku.
“AYAH!”
tanpa berfikir panjang, kuayunkan kakiku menjemput sosok terhebat yang ku
punya.
Lewat cerita ayah, aku baru mengenal sosok
Lintang yang sebenarnya. Hidup Lintang sebatang kara sejak kecil. Ayahnya gugur
sebagai pahlawan. Sedangkan ibunya meninggalkannya sesaat setelah
melahirkannya.Sejak saat itulah kakek mengasuhnya.Karena ketulusannya, ayah
mengikutsertakan Lintang menjadi tentara republic.Dan karena keberanian dan
kesetiaannya pula, dia mendapat kepercayaan sebagai mata-mata.
Dia memutuskan menjadi kacung Belanda.Tak
heran dulu para serdadu menggeledah seisi desa saat menyadari pengkhianatan
Lintang.
“ah,
Lintang. Andaikan aku tahu sejak dulu, mungkin kau tak harus menjadi korban
bulan-bulanan kenakalan kami.kau tahu? Kau selalu menjadi mutiara terindah
meski terselimut lumpur.” Batinku penuh haru dan sesal.
Post a Comment